Imron Rivaldi pernah mengalami guncangan hebat dalam hidupnya. Ceritanya begini. Awalnya ia memutuskan mampir ke Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta sebelum pulang ke kosannya. Saat itu, suasana masjid cukup ramai.
Tidak seperti era pandemi Covid-19, jamaah sudah bisa salat tanpa masker dan shaf kembali rapat seperti semula. Imron merasa lega melihat masjid yang kembali hidup dengan nuansa normal, lantunan ayat suci menggema, memenuhi ruang-ruang hening masjid yang bersejarah ini.
Salat ashar pun dimulai. Imron berada diapit oleh dua lelaki paruh baya. Yang di kanan mengenakan sarung motif kotak-kotak dengan peci hitam miring sedikit ke belakang. Kumisnya tebal dan putih keabu-abuan. Sementara yang di kiri memakai celana panjang hitam dan baju koko putih dengan motif bordir emas di dada. Janggutnya panjang, tapi sedikit miring ke kanan, seolah tak pernah bertemu sisir.
Hingga rakaat pertama berjalan biasa saja, tak ada yang aneh, semuanya berjalan lancar, sampai tibalah waktu sujud. Di sanalah semua malapetaka itu dimulai.
Imron mendengar dua suara bersamaan dari kanan dan kiri membaca, “SubHAAnaka…” dengan dua harakat lantang. Bacaan itu benar dari aspek tajwid, tapi ada “bonus” tak terhindarkan: serangan aroma mematikan.
Bau mulut dari dua arah itu seperti tornado kecil yang bersatu tepat di depan hidung Imron. Aromanya seperti tisu basah yang digosok ke ketiak Drogba. Masker bermerek Gucci atau Supreme yang paling mahal sekalipun bakal menyerah. Itu bukan lagi bau mulut manusia, pikir Imron, melainkan senjata biologis pemusnah massal sedahsyat hulu ledak nuklir.
Dalam hati, Imron ingin berteriak, “Apa ini ujian akhir zaman?!” Tapi bibirnya terkunci rapat, takut partikel-partikel bau tak sedap itu menyusup ke mulutnya. Setiap tarikan napas serasa menyedot karbon monoksida murni, dan tiap hembusan seperti menghadiahkan kepingan neraka yang menempel di paru-parunya.
Dalam kepalanya, ia mulai merenung, “Kalau malaikat mencatat bau ini, dosa siapa yang lebih berat: aku yang terganggu, atau dia yang menciptakan teror biologis ini?” Lagi-lagi, dalam hatinya, Imron merutuk, Gini amat hidup di rezim sekarang…
Salat yang seharusnya menjadi momen khusyuk berubah menjadi perjuangan bertahan hidup atau mati. Konsentrasi Imron hancur, doanya terpental seperti bola pingpong. Ia memaksa bertahan hingga salam terakhir, tapi seluruh inderanya sudah menyerah.
Setelah salam, Imron buru-buru keluar masjid, nyaris lari. Tapi sisa-sisa bau itu masih menghantui, seperti bayangan mantan yang enggan pergi.
Nabi Saw pernah bersabda, “kalau saja tidak memberatkan umatku, akan kuwajibkan bersiwak sebelum salat.” Hadis ini jadi tanda segitu pentingnya menjaga kebersihan mulut. Bahkan dalam Fatwa Tarjih, menggosok gigi begitu dianjurkan sebelum melaksanakan sembahyang.
Sampai di kos, Imron langsung menceritakan tragedi bersejarah pada sore itu kepada dua temannya, Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar. Harapannya akan diceritakan kembali kepada anak cucu mereka kelak untuk memperbaiki peradaban umat manusia.
Sayangnya, seruan Imron itu tidak langsung menarik perhatian Malik dan Nuriel. Nuriel berdiri di dekat lemari, sibuk merapikan baju Kokam yang baru saja ia setrika. Sementara itu, Malik sedang sibuk menonton scene pertarungan anime terbaik di dunia: Boruto melawan Kawaki.
“Dengar dulu, ini penting!” desak Imron, mencoba mencuri perhatian mereka.
Malik akhirnya menoleh sejenak, lalu menekan tombol pause. Dengan tatapan malas, ia berkata, “Apa sih, Mron? Kalau ini cuma cerita absurd lagi, mending aku lanjut nonton.”
“Tunggu dulu,” Nuriel menyela sambil menggantungkan baju Kokam dengan hati-hati. “Apa tragedi kali ini? Jangan-jangan kamu jatuh dan tak bisa bangkit lagi?”
“Bukan, Riel!” balas Imron, setengah kesal. “Ini lebih penting daripada urusan Boruto atau baju Kokam kalian.”
Rasa penasaran mulai muncul. Malik akhirnya meletakkan ponselnya, sementara Nuriel duduk di kursi, bersiap mendengarkan. Saat Imron mulai menceritakan “serangan aroma mematikan” di masjid tadi, ekspresi Malik dan Nuriel berubah dari datar menjadi kesal. Malik bahkan menutup hidungnya dengan tangan, sedangkan Nuriel menatap Imron penuh kecurigaan.
“Eh, kamu yakin ini orang lain pelakunya?” Malik bertanya, dengan nada menyelidik.
“Ya, jelas! Aku ‘kan cuma ceritain kejadian tadi. Aku sih aman,” jawab Imron penuh percaya diri.
Namun, Malik dan Nuriel saling berpandangan. Mereka sepertinya punya firasat buruk. Tanpa berkata-kata, mereka kompak meraih tas masing-masing. Dari dalam tas itu, keduanya langsung mulai memasang masker canggih Avon FM53 Chemical-Biological Mask.
“Serius banget kalian!” Imron protes, bingung.
“Santai, ini cuma langkah preventif,” kata Malik dengan suara yang agak teredam oleh masker. Ia memeriksa filter aktif yang konon bisa menyaring partikel sampai ukuran mikron terkecil. “Kita nggak mau ambil risiko. Jangan sampai tragedi masjid tadi berlanjut di sini.”
“Sampai segitunya, Lik?” tanya Imron.
“Kita harus siap menghadapi situasi terburuk, apalagi kalau sumbernya ada di ruangan ini,” jawab Malik.
“Eh, maksud kalian apa?” Imron mulai merasa ada yang aneh.
Dengan wajah yang sekarang hanya terlihat dari balik kaca anti-embun, Malik menyeringai kecil. “Imron,” katanya sambil melipat tangan di dada. “Kamu tahu, Tuhan menciptakan hidung tepat di atas mulut. Tapi kenapa kita nggak pernah bisa mencium bau mulut sendiri?”
“Maksudnya?” Imron bertanya, sekarang benar-benar bingung dan sedikit gugup.
Nuriel mendekat, menunjuk ke arah Imron dengan gerakan lambat. “Maksudnya… sebelum kamu bahas tragedi benturan peradaban, mungkin kamu perlu periksa dulu kondisi diri sendiri.”
Imron terdiam sejenak. Tetapi puncak kekhawatirannya baru muncul ketika Nuriel menyodorkan kaca kecil. Kaca itu Nuriel gunakan sebagai bukti forensik bahwa ada yang tidak beres dengan struktur anatomi Imron. Seolah-olah mulut dan giginya adalah situs arkeologi yang menyimpan rahasia kuno tentang kejahatan terbesar umat manusia.
Dengan perasaan cemas, Imron mengambil kaca itu. Ia menatap pantulan dirinya, lalu terkejut mendapati sepotong cabe merah tersangkut di sudut giginya. Potongan cabe itu tampak seperti bendera Nepal yang berkibar penuh semangat. “Jadi selama ini… aku yang bau? Astagfirullah…”
“Kamu tahu apa yang lebih menyakitkan dari ditagih pinjaman online?”
“Apa, Lik?” tanya Imron polos.
“Waktu orang lain nutup hidung tepat saat kita bicara!” #KontrakanImron
Sumber -> Artikel anekdot dari muhammadiyah.or.id. Maret 2025. “Bau Mulut Orang Lain Tercium, Bau Mulut Sendiri Tidak” https://muhammadiyah.or.id/2025/03/bau-mulut-orang-lain-tercium-bau-mulut-sendiri-tidak/