Mematahkan Mitos Muhammadiyah Tidak Lucu

“Tapi buat apa kita repot-repot ngebuktiin kalau Muhammadiyah itu lucu?” tanya Imron Rivaldi sambil melempar sandal jepit ke pojok kamar. Bunyi plak sandal itu seakan

Kuli Tinta

Ilustrasi Serial Imron #1
Ilustrasi Serial Imron #1

“Tapi buat apa kita repot-repot ngebuktiin kalau Muhammadiyah itu lucu?” tanya Imron Rivaldi sambil melempar sandal jepit ke pojok kamar. Bunyi plak sandal itu seakan jadi gong pembuka “rapat darurat” yang mendadak digelar bareng dua teman kosnya, Malik Senja Ramadan dan Nuriel Al-Kautsar.

Mereka bertiga ini kader Muhammadiyah sejati, meskipun gayanya beda-beda. Imron adalah Ketua IMM di kampusnya, yang menyukai dunia pemikiran dan aktivisme. Nuriel adalah Prajurit Kokam dengan militansi level maksimal, yang selalu siap pasang badan untuk Muhammadiyah. Malik adalah Sekjen IPM tingkat wilayah, yang percaya bahwa Boruto adalah anime terbaik.

Masalah ini muncul gara-gara Nuriel membaca artikel yang mengklaim Muhammadiyah defisit humor. Artikel itu viral dan, lebih parahnya, banyak yang setuju. Dalam artikel itu tertulis bahwa anak-anak Muhammadiyah itu kurang nongkrong. Mereka berkumpul cuma untuk rapat organisasi, mentok-mentok untuk pengajian.

Sebagai darah muda yang selalu menggebu, hal ini bikin Nuriel panas. Ia langsung menyulut diskusi malam itu juga demi menjaga marwah persyarikatan. Baginya perlu upaya kolosal untuk menghancurkan mitos ini. Tidak, ini bukan mitos. Ini sudah masuk dalam kategori fitnah.

“Ini tidak bisa dibiarkan. Masa iya, Muhammadiyah yang punya amal usaha segunung dibilang nggak lucu? Muhammadiyah juga bisa bikin umat ketawa!” kata Nuriel sambil menggebrak meja kamar.

Malik, yang sedang mengenakan jubah Akatsuki, cuma ngangguk santai. Ia kemudian menatap dalam-dalam kepada dua karibnya itu. “Kita ini kader Muhammadiyah. Masa iya kita biarin stigma kayak gitu? Muhammadiyah itu lucu, lucu parah! Kita perlu buktikan bahwa Muhammadiyah punya selera humor yang tinggi!”

“Kita harus melawan mereka, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya,” ujar Nuriel.

Imron, yang dikenal lebih kritis ala ala golongan kidal, cuma geleng-geleng kepala sambil nyedot tusuk gigi. “Oke, oke, tapi gimana caranya?”

Malik langsung menunjuk udara, gaya khas orang yang merasa sedang mendapatkan momen eureka. “Aku ada ide gila!” serunya.

“Kau emang sering gila, ide apa?” respon Imron.

“Kita bikin lembaga resmi.”

“Lembaga? Seriusan, Lik?”

“Iya, Mron.”

“Namanya?”

“Akatsuki.”

“Seriusan?!”

“Nggak, becanda.”

“Terus?”

“Lembaga Hikmah dan Humor, disingkat LHH!”

“Yang lain!”

“Majelis Tajdid dan Tawa, disingkat MTT!”

Bulu kuduk Nuriel langsung merinding. “Nama itu… keren bangeeet! Fix kita butuh ini dari dulu. MTT… Majelis Tajdid dan Tawa!”

Imron tetap tenang, meski mulai penasaran. “Tapi caranya gimana? Masa kita bikin lawakan terus diumumin di pengajian?” Berhenti sejenak, ia melanjutkan, “Bapak-bapak, ibu-ibu, ikan… ikan apa yang nggak bisa berenang? Yak, ikan Indosiaaarr… gitu?”

“Bukan gitu, Mron. Ini situasi darurat! kau nggak bakal ngerti,” Malik makin serius, menatap Imron seolah sedang menjelaskan strategi Tiki Taka ala Pep Guardiola. “Sebelum bikin lembaga baru, kita bikin seminar dan lokakarya. Kalau perlu call for paper!”

Kali ini Imron sepakat. Perlu ada kajian multidisipliner-interdisipliner-transdisipliner yang dianalisis dari sisi linguistik, filsafat, histori, hingga antropologi untuk membuktikan bahwa Muhammadiyah tidak darurat humor. Ia ingin mematahkan hoaks yang tidak berdasar ini dengan kajian ilmiah ketat dan kutipan referensi artikel jurnal yang bertubi-tubi. Kalau perlu tembus Scopus. Judul artikel yang sedang terbayang olehnya ialah Eksistensi Humor dalam Tradisi Muhammadiyah: Kajian Sastra dan Hermeneutika.

Agar kelucuan cukup terproduksi secara masif di kalangan Muhammadiyah, Imron juga berencana menganalisis pola-pola humor dari komedian ternama seperti Ridwan Remin, Rigen, dan Andre Taulany. Analisis ini penting dilakukan untuk kemudian diadaptasi sebagai inspirasi bagi kader-kader Muhammadiyah. Baginya, kaderisasi generasi humoris dalam Muhammadiyah adalah sebuah kewajiban yang harus terus berlanjut. Kalau perlu bikin Darul Arqom tingkat dasar bagi akademi pelawak Muhammadiyah.

Sebagai Sekretaris Jenderal IPM, Malik memutuskan untuk memberikan perhatian penuh pada pembentukan lembaga baru tadi, Majelis Tajdid dan Tawa. Saat ini, yang perlu ia lakukan adalah menyusun proposal terbaik untuk raker atau rapat kerja. Kalau perlu di luar kota. Raker ini mencakup berbagai hal teknis, seperti penentuan visi dan misi lembaga, perencanaan anggaran, serta struktur organisasi yang akan dibentuk. Tujuan utama dan paling inti dari raker ini ialah: bikin grup WhatsApp.

Bagi Malik, membongkar mitos tentang Muhammadiyah tidak lucu bukanlah perkara sepele. Tidak bisa dilakukan secara asal-asalan dan sembarangan. Setiap langkah harus dilakukan dengan perencanaan yang matang, terorganisir dengan rapi, dan terstruktur dengan baik. Karena ia merasa, mitos ini juga terbangun dari senarai propaganda yang dilakukan pihak-pihak yang selama ini tidak senang dengan Muhammadiyah.

“Artikel ilmiah sama pembentukan lembaga kayaknya nggak bakal cukup, Lik,” ucap Imron.

“Betul, Mron,” jawab Malik.

“Mematahkan mitos Muhammadiyah nggak lucu juga perlu unjuk kekuatan militer dan framing dari media,” sahut Imron.

“Biar gagah dan menggelegar, bikin apel akbar sekalian jumpa pers,” saran Malik yang masih mengenakan jubah akatsuki.

Malik kemudian menyuruh Nuriel agar Kokam melakukan apel akbar. Nuriel pun mengangguk, siap melaksanakan perintah. Ia merencanakan untuk mengumpulkan semua prajurit Kokam yang bisa ia hubungi. Dalam apel itu semua prajurit harus mengenakan pakaian loreng khas, topi merah yang mencolok, serta wajah yang dicat biar kelihatan seram. Aksi baris berbaris dari Kokam ini penting dilakukan dengan tujuan unjuk kekuatan bahwa Muhammadiyah sama sekali tidak darurat humor.

Selain apel akbar, Nuriel juga berencana mengajak Komandan Kokam untuk melakukan jumpa pers. Baginya, pendekatan melalui media bisa jadi komunikasi yang efektif untuk menyudahi fitnah tidak berdasar ini. Di tengah barisan prajurit yang gagah penuh semangat, Nuriel akan berdiri bersama Komandan dan meyakinkan publik bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang selalu serius sepanjang waktu.

Semangat mereka bertiga kini makin membara. Malam itu, mereka begadang sampai dini hari. Imron membuat artikel ilmiah untuk seminar, Malik merancang proposal untuk raker di Labuan Bajo, dan Nuriel menyiapkan undangan untuk apel akbar serta jumpa pers. Isinya ambisi besar: membuat Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang penuh humor.

“Kita berlebihan nggak sih ini?” tanya Imron.

“Kita kader Muhammadiyah, segalanya harus dibikin sungguh-sungguh,” kata Nuriel.

“Kalau gak sungguh-sungguh, mana bisa kita dikenal sebagai pergerakan Islam modern paling tahan banting dalam sejarah,” Nuriel meyakinkan.

“Udah, tenang aja, kalau kalian ikuti semua perintahku, bahkan Eropa bisa kita bisa kuasai,” kata Malik yang tiba-tiba kerasukan mendiang Napoleon Bonaparte.

Dan begitulah. Mereka bertiga merespon artikel soal Muhammadiyah nggak lucu dengan cara paling khas Muhammadiyah: serius, terstruktur, dan penuh perencanaan. Bahkan untuk sekadar membuktikan bahwa Muhammadiyah bisa bercanda, mereka tetap nggak bisa lepas dari kebiasaan formal.

Tapi bukankah itu yang membuat Muhammadiyah… ya, sangat Muhammadiyah?

#KontrakanImron

Sumber -> Artikel laman Muhammadiyah.or.id. Maret 2025. “Mematahkan Mitos Muhammadiyah Tidak Lucuhttps://muhammadiyah.or.id/2025/03/mematahkan-mitos-muhammadiyah-tidak-lucu/

Kuli Tinta

Kuli tinta

Related Post

Leave a Comment