Bukan Arab, Tapi Islam: Gagasan Kiai Cepu Soal Sastra dan Lembaga Keagamaan

JAKARTA (KabarMuh) – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyelenggarakan seminar dan tribute bertajuk

Kuli Tinta

Kyai Cepu Tawarkan Gagasan Islam di UIN Jakarta
Kyai Cepu Tawarkan Gagasan Islam di UIN Jakarta

JAKARTA (KabarMuh) – Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI), Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menyelenggarakan seminar dan tribute bertajuk “Diskusi Seni dan Sastra Islam” sebagai bagian dari rangkaian acara Pestarama ke-10.

Pestarama merupakan kegiatan tahunan yang diinisiasi oleh Prodi PBSI UIN Syarif Hidayatullah sebagai ajang apresiasi seni dan budaya. Pestarama #10 tahun ini diadakan di Aula Student Center UIN Jakarta dan mengambil tema, “Relung Langkah Budayawan Muslim Indonesia”. Narasumber yang diundang pada Pestarama #10 yakni Dr. Husein atau yang akrab dikenal sebagai Kiai Cepu.

Dalam pemaparannya, Kiai Cepu menegaskan bahwa sastra Islam tidak harus diidentikkan dengan tema-tema religius secara eksplisit. Menurutnya, esensi sastra Islam justru terletak pada nilai-nilai universal seperti keadilan, kejujuran, dan keagungan nilai-nilai inti yang terkandung dalam ajaran Islam.

Ia mencontohkan Kuntowijoyo sebagai sastrawan yang karya-karyanya mengandung semangat Islam, meski tidak secara langsung menampilkan simbol atau tema keagamaan. Lebih jauh, Kiai Cepu mengkritisi minimnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan seni, khususnya dalam bentuk drama dan sastra.

Menurutnya, meskipun saat ini telah ada upaya membuka ruang melalui berbagai lembaga dan program, menurutnya seni masih belum dianggap sebagai aspek utama yang perlu didorong secara serius dalam pembangunan kebudayaan nasional.

“Saya sangat menolak beberapa sastrawan dimasukkan begitu saja ke dalam kategori sastra Islam. Itu justru mempersempit makna sastra Islam seolah-olah hanya bercerita tentang agama. Misalnya, kisah Masyitoh menurut saya bukanlah sastra Islam, baik secara esensial maupun simbolis,” ucap Kiai Cepu.

Kiai Cepu yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua di Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah ini turut menyoroti pentingnya komitmen dan kecintaan terhadap seni sebagai landasan utama lahirnya karya-karya yang bernilai. Seni, menurutnya, adalah ekspresi jiwa yang harus tetap menyala meski berada dalam situasi yang penuh tantangan.

Di akhir pemaparannya, beliau menegaskan bahwa seni harus tetap hidup dan berkembang meskipun menghadapi keterbatasan dalam hal pendanaan. “Kekuatan seni bukan semata-mata karena ditentukan oleh ketersediaan dana, tapi juga semangat, dedikasi, dan tekad para seniman untuk terus berkarya,” sambung Kiai Cepu. ***

Sumber -> Kiriman Kontributor dari PBSI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kuli Tinta

Kuli tinta

Related Post

Leave a Comment